Senin, 25 Januari 2010

sejarah perkembangan lada putih di bangka

Pentingnya Organisasi Petani Lada di Bangka

Dikirim oleh : Pan Budi Marwoto, 19 Juni 2008

Terlepas dari kontroversi pembentukan Kantor Pemasaran Bersama (KPB) lada, satu hal yang dapat dijadikan informasi bagi semua pelaku yang berkaitan dengan komoditi lada adalah, bahwa disamping dipengaruhi oleh struktur pasar oligopsoni yang notabene memang diciptakan oleh Singapura, harga tingkat petani juga di pengaruhi oleh supply-demand yang menyebabkan fluktuasi harga internasional. Pada kenyataannya, Supply-demand lada putih saat ini terkait erat dengan faktor subtitusi komoditi. Komoditi subtitusi sebagai kompetitor utama lada putih adalah lada hitam yang belakangan membanjiri pasar dunia dengan Vietnam sebagai motornya. Menjadi kompetitor karena tingkat harga lada hitam jauh lebih rendah dibandingkan harga lada putih. Sebagai perbandingan IPC (2003) mencatat bahwa pada tahun 2002, di pasar dunia, harga lada hitam adalah 81 US$ Cent per pound dan lada putih Bangka dihargai 109 US$ Cent per pound. Dengan tingkat penggunaan yang sama, selisih harga yang tinggi tersebut membuat konsumen akhir cenderung lebih memilih untuk membeli lada hitam karena menawarkan harga yang lebih rendah.

Memperkuat justifikasi subtitusi tersebut, seorang narasumber di IPC Jakarta menyatakan bahwa karena tingkat penggunaan dan bentuk yang sama, sudah menjadi trend belakangan ini, terutama di Eropa dan Amerika sebagai konsumen akhir terbesar, untuk melakukan transformasi lada hitam ke lada putih. Kulit lada hitam dikelupas kemudian dijadikan bahan obat-obatan, sedangkan isinya dikeringkan dan dijadikan powder untuk fungsi yang sama dengan lada putih. Trend inilah yang kemudian menyebabkan seringkali terjadinya oversupply dan overstock lada di pasar dunia yang akan mempengaruhi harga lada putih Bangka.
Pasar subtitusi tersebut, ditambah kondisi supply-demand alami, mengharuskan pemerintah untuk tidak hanya mengurus tatalaksana perdagangan lada putih saja tetapi juga melakukan proteksi input-output dan pemberdayaan petani. Sehingga saat ini yang sangat mendesak untuk dilakukan pemerintah bukan hanya pembentukan KPB, tetapi bagaimana memfasilitasi dan memperkuat petani dengan membentuk organisasi yang memiliki daya tawar tinggi. Organisasi petani tersebut, tidak hanya berkutat dalam bidang produksi, tetapi juga dalam trading house, sehingga ada integrasi antara upaya produksi dan trading oleh petani, bahkan hingga mampu melaksanakan ekspor sendiri.

Keuntungan mengorganisasikan petani lada dalam kelompok-kelompok yang solid merupakan suatu upaya untuk mengurangi biaya-biaya transaksi dalam memperoleh akses kepada pasar-pasar sarana produksi utama seperti pupuk dan obat-obatan dan juga pasar output lada. Keuntungan lainnya adalah untuk memperbaiki kekuatan tawar-menawar dan negoisasi dari petani lada yang berhadapan vis-à-vis dengan eksportir dan pedagang pengumpul yang memiliki organisasi yang solid dan permodalan yang kuat.
Di Bangka, petani hanya tergabung dalam kelompok-kelompok tani yang lemah dan cenderung merupakan alat penetrasi pemerintah dalam melaksanakan kegiatannya. Dengan menguasai pasar lada putih dunia, seharusnya sudah terbentuk organisasi petani yang dapat membantu memperbaiki kondisi petani yang kian terpuruk. Tetapi kenyataan berbicara lain, belum ada satupun organisasi petani yang dimaksud, bahkan tidak juga koperasi perkebunan. Babak baru pengorganisasian petani lada dimulai pada bulan Mei 2003, dengan dideklarasikannya pembentukan Asosiasi Masyarakat Lada Putih Indonesia (AMLAPI) yang mempunyai visi memberdayakan masyarakat lada putih Indonesia dengan mengembangkan hubungan harmonis antar stakeholders hingga mampu menumbuhkan kepastian dalam usahatani lada. Menyusul kemudian dibentuk juga organisasi Koperasi Masyarakat Lada Putih Indonesia (KOMLAPI). Koperasi ini diharapkan dapat menggantikan peran rantai tata niaga lada tradisional yang merugikan petani. Hingga saat ini belum bisa dinilai kinerja kedua organisasi petani tersebut, tetapi sepanjang organisasi ini tidak diintervensi pemerintah, melibatkan seluruh elemen masyarakat lada yang representatif, baik dalam finansial maupun organisatoris, serta terhindar dari sikap oportunistik dan rent seeking dari pengelolanya, maka petani dapat berharap banyak untuk perbaikan kesejahteraannya.

Dalam jangka panjang diharapkan organisasi masyarakat petani lada tersebut, tidak hanya berkutat dalam bidang pemasaran domestik tetapi juga dalam bidang produksi, sehingga ada integrasi antara upaya produksi dan trading oleh petani, bahkan hingga mampu melaksanakan ekspor sendiri. Dalam konteks mekanisme pasar, banyak bermunculannya organisasi-organisasi petani yang difasilitasi pemerintah dan yang langsung bergerak di bidang ekspor dapat membawa perbaikan bagi perubahan harga di tingkat petani. Hal ini disebabkan karena mekanisme pasar yang terbentuk kemudian akan menciptakan atau setidaknya mendorong pasar menuju kearah yang lebih kompetitif di mana terdapat banyak petani penjual dan eksportir sehingga antara keduanya tidak dapat mempengaruhi keadaan harga pasar. Pasar lada yang kompetitif juga akan; (1) memberikan informasi yang sangat berguna terutama tentang perubahan harga dan besarnya permintaan akan lada sehingga petani mempunyai pengetahuan yang baik tentang kondisi pasar, akibatnya eksportir tidak dapat bertindak sebagai price taker dan membeli lada dengan harga yang lebih rendah dari harga berlaku, (2) dapat menghapuskan pasar oligopsoni yang merugikan petani lada selama ini, (3) mengeliminir dominasi eksportir yang selama ini cenderung menyuarakan kepentingan Singapura dan (4) pada akhirnya persaingan harga antar organisasi eksportir, baik yang di fasilitasi pemerintah maupun yang pro Singapura ini dapat membawa perbaikan harga tingkat petani.


Artikel Lainnya

1 komentar: